Selasa, 17 Juni 2025
Borneo Times – Kebijakan sanksi denda sebesar Rp1,6 miliar yang dijatuhkan kepada pengusaha kapal rute Nunukan-Tawau oleh Kantor Imigrasi Nunukan menuai kritik keras dari anggota DPRD Kabupaten Nunukan. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Selasa (17/6/2025), sejumlah legislator menilai bahwa sanksi tersebut tidak tepat sasaran dan mencerminkan ketidakadilan bagi masyarakat perbatasan.
Anggota DPRD Nunukan, Gat Khaleb, menyoroti akar persoalan yang dinilainya berasal dari tumpang tindih aturan mengenai masa berlaku (validity) paspor antara Indonesia dan Malaysia. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab atas validitas dokumen perjalanan sepenuhnya merupakan kewenangan Imigrasi, bukan pemilik kapal.
“Keluar-masuk orang asing itu domain Imigrasi. Pemilik kapal tidak punya otoritas memverifikasi paspor penumpang. Sangat mungkin denda ini salah alamat,” tegas Gat.
Gat juga menekankan bahwa kondisi Nunukan sebagai wilayah perbatasan tidak bisa disamakan dengan daerah lain di Indonesia. Menurutnya, aktivitas lintas batas merupakan kebutuhan ekonomi vital bagi masyarakat setempat.
Hal senada disampaikan oleh anggota DPRD lainnya, Andre Pratama. Ia menilai bahwa proses pemeriksaan paspor seharusnya menjadi tanggung jawab penuh petugas Imigrasi, bukan pemilik kapal.
“Kalau ada paspor yang tidak valid, seharusnya sudah dihentikan sejak awal oleh Imigrasi. Pemilik kapal hanya cocokkan tiket dengan manifest,” ujar Andre.
Ia juga mengkritik lemahnya respons Kantor Imigrasi terhadap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurutnya, seharusnya Imigrasi menjelaskan perbedaan regulasi antarnegara sebelum membayar denda.
Wakil Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Sadam Husein, turut menilai bahwa kebijakan tersebut sangat merugikan rakyat kecil.
“Kalau seperti ini, Imigrasi juga harus kena denda karena lalai. Masa rakyat yang dihukum, yang bertanggung jawab malah lepas tangan?” ujarnya.
Sadam bahkan menceritakan pengalamannya ketika dideportasi dari Malaysia akibat masuk daftar hitam. Ia hanya dipulangkan tanpa denda, sehingga mempertanyakan mengapa Indonesia tidak bisa bersikap serupa.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Andi Mulyono, menilai bahwa persoalan ini mencerminkan kekeliruan logika hukum.
“Ini seperti mempidanakan penjual pisau karena pisau digunakan untuk kejahatan. Harus ada evaluasi menyeluruh,” jelasnya.
DPRD Nunukan pun merekomendasikan agar Kantor Imigrasi menyusun laporan atas pertemuan ini dan menyampaikannya langsung kepada Direktorat Jenderal Imigrasi. DPRD juga meminta agar pengusaha kapal tidak membayar denda hingga ada kejelasan hukum.
“Kami akan kawal permasalahan ini sampai ke pusat. Ini soal hak dan keadilan masyarakat perbatasan,” tutup Andi. (*)